Behaviorisme
adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap
rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang
digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar,
diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan
behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan
dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada
ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah
perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret.
Premis
dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara
stimulus respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori
belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu
perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari
proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang
bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara
itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan
proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar
akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara
respons yang tidak benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu
respons akan memperkuat kemungkinan munculnya respons. Respons yang
benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat terjadi hanya
jika siswa dalam keadaan siap.
Teori
behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang
menjadi konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah
laku yang dapat diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses
pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil
yang cukup kompleks.
Ciri dari teori behavioristik
adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh
adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan
ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Dalam
hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah
untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia
nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar
mengenai pendidikannya sendiri.
2.1.1.1 Prinsip Dasar Behaviorisme
Ø Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
Ø Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
Ø Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
Ø Dalam
perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi
oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme
dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem
Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun
fokus pada overt behavior tetap terjadi.
Ø Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
Ø Banyak
ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam
dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
2.1.1.2 Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun
isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara
hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak
memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir
linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak
sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut
Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun
ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu:
- Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
- Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
- Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan.
Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman
harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan
pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka
inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif
adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
2.1.1.3 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis
dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar
atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena
itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang
harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Karena
teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi
dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan
pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar
lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar”
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian
yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi
pada kemampuan pebelajar secara individual.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar
dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini
disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek;
(2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga
hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh
teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi,
semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan
muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga
masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada
respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil
belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan
respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu
sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus
respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus
dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang
mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam
memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat
respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku
hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
2.1.2 Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif
Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang
paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri.
Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam
penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat
memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah
laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada
dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori
belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar
behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan
tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati
dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan
teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan
oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental
atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman,
ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan
berbekas”.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha
yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia
sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah
laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai
dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya
tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku.
Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar
teori belajar kognitif:
Menuru
teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku
dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh
tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri.
Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih
untuk kepentingan dirinya.
Teori
kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek
kognitif mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai
dirinya dan lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan
lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis membahas masalah
hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan psikologisnya secara
bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal
atau proses-proses mental.
Menurut
teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang
tidak dapat diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
- Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
- Membantu guru u Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori
kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek
kognitif mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai
dirinya dan lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan
lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis membahas masalah
hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan psikologisnya secara
bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal
atau proses-proses mental.
Menurut
teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang
tidak dapat diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah
- Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
- Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu dirinya sendiri
- Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.
- Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas diri dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungannya merupakan faktor yang saling berkaitan.
Insight
adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi
yang sama atau hamper sama. Dapat juga dikatakan insight adalah
pemahaman terhadap suatu situasi secara mendalam. Insight terjadi dengan
malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah, kemudian
manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai berikut.
a. Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi psikologis, sedangkan teori behaviorisme pada segi fisiknya saja.
b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah masa lalu.
c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara simultan dan saling membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b. Sehubungan
dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak,
seperti penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus
memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.
Model
teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan
adalah model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari
Ausebel, model pemrosesan informasi dan model peristiwa pembelajaran
dari Rober Gagne, dan model “perkembangan intelektual” dari Jean Piaget.
Tokoh teori belajar kognitif diantaranya:
1) Teori Belajar Kognitif Gestalt
Teori
kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.
Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti
oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang
hokum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang
meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa
pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan.
Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan
pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian
dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan
keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih
meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan
ganjaran.
2) Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
Kurt
Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field
dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin
memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan
yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life
space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu
bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang
ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin,
belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam
kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari
kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih
penting pada motivasi dari reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget
Dalam
teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas
gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget
adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap
tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Pada intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada akomodasi. Kepada
siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat
belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
4) Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Yang
menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di
kelas. Untuk itu bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya
discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan pelajaran
yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus
memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan murid
kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka
mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti
5) Teori Belajar Vygostky
Tokoh
kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky
adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan
“eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari
interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas
– tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone
of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.
Teori
Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan
kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky
menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki
setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan
saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif
dalam masing – masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar
Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran
kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan
siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep –
konsep dan pemecahan masalah.
2.1.2.1 Pandangan-Pandangan Teori Kognitif
Tidak
seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku
manusia tunduk pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif
ternyata ditemui tiap individu justru merencakan respons perilakunya,
menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta
mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang
berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang
berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi
pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis
pengetahuan dan memori.
Jenis Pengetahuan
Menurut
pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses
belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada
situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan
sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi,
dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil
dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar
berikutnya. Berbagai riset terapan tentang hal ini telah banyak
dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang luas
ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang
tersedia sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini
disertai dengan strategi yang baik tentu akan membawa hasil lebih baik
lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
v Pengetahuan
Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam
bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
v Pengetahuan
Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan
misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita
mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”.
v Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan
deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang
fakta (misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu
tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan
jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa
yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk
melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka
pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
2.1.3 Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan
konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna
oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai
usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes
asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang
menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru
konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri
manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas
konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Konstruktivisme
merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari
teori kognitif (Muchith, 2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan
oleh Piaget pada pertengahan abad 20 (Sanjaya,2009:123). Konstruktivisme
adalah sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis sebesar
strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang
pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan
Reynolds, 2008:95).
1) Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean
piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat
kontruktivisme, yang teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi
kognitif. Manusia berhapadan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru,
dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk itu,
manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci,
atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut.
Piaget
(1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji
proses kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai
perkembangan kognitif menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui
beberapa tingkatan (stages) yang berbeda dalam perkembangan kognitif dan
bayi sampai dewasa. Menurut Piaget tingkat pertama perkembangan
kognitif membangun fondasi untuk perkembangan konsepual dalam tindakan,
dimulai dengan tindakan sensori motorik dan refleksi. Tingkatan
selanjutnya membangun tingkat kognisi yang lebih tinggi pada skema yang
terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan statement ringkas pada teorinya
tentang meaning making: “otak mengorganisasi dunia dengan mengorganisasi
dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311). (Robert, 2004:70).
Selain
itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak
kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya
sendiri. Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka
akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu
dilupakan (Sanjaya, 2009:124).
Menurut
Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur
kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis
pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan
fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat
diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap, menatap,
menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu
yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur
berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda
dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini
adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah
istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap
sebagai elemen dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah
jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia
akan merespon lingkungan fisik (Hergenhan dan Olson, 2008: 314-315).
Jelas,
jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada
perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan
pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua
menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation
(akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
Setiap
pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan
akomodasi. kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata
oragnisme membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua
proses yang sama-sama penting: pengenalan atau mengetahui, yang
berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi
struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan proses
belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman
yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan
perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi karenanya
menyediakan sarana utama bagi perkembangan intelektual.
2) Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon
Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert
B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a
range of theories that share the general perspective that knowledge is
constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of
these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya
adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar
meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa
pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar.
Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dalam
hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa
“Constructivist views of learning include a range of theories that share
the general perspective that knowledge is constructed by learners
rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their
philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan
penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori
yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh
pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti
ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dewey
menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian,
satunya emotional dan yang lainnya intelektual—yang satunya materi
nyata, lainnya imajinatif. Pembagian seperti ini sesungguhnya seringkali
membangun, tetapi hal itu selalu karena metode yang salah dalam
pendidikan. Sebenarnya dan biasanya, personalitas berkerja sebagai
keseluruhan. Tidak ada integrasi karakter dan otak kecuali ada penyatuan
intelektual dan emosional, makna dan nilai, kenyataan dan imajinasi
yang berjalan diluar kenyataan menuju kecendrungan terhadap kemungkinan
yang diinginkan (Robert, 2004: 36)
Dewey
memperkenalkan bahwa struktur internal pengetahuan dan hubungannya
dengan bagian masalah adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang
berguna. Orientasi terhadap pembelajaran untuk belajar ketimbang
mengumpulkan pengetahuan difasilitasi dengan memfokuskan tentang apa
yang oleh Brown dan Campione (1996) sebut “big ideas and deep
principles” (ide-ide besar dan prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme
menyakini bahwa belajar mencakup proses pengetahuan yang lebih mendalam
ketimbang menghafalkan materi. Belajar meliputi restruktur atau
menciptakan keterhubungan dari sistem yang terintegrasi (misalnya,
menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang memiliki efek
yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal
tersebut; Bransford, Frank, Vye & Sherwood, 1989) (Robbert B. Innes,
2004:38)
Prinsip
dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua
pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara
langsung oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti
dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri gerakan
konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa
pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan,
terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki
alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman
kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan
Reynolds, 2008:96).
3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana
dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan,
yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2)
kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan
perbedaan dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang
satu daripada yang lainnya.
Setara
dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi
pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan
struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi
pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan
pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan
membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah
dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif
dirinya.
Semua
kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara
aktif dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam
kelompok, bukannya diterima dari sumber natural atau supranatural (atau
bahkan dari seorang professor; Philips 1995). Selain ini, definisi
kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama
dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar
dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai
suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai
sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang
dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang
menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi
dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut
diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism
or sociocultural posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara
keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan
sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan
demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah
salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari
dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi
kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan
baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada
pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya. konstruktivistik
mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi
pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang
digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia
nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.
4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul
Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang
dianggap tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran
yang demokratis dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang
kebebasan kepada siswa untuk melakukan kritik, memiliki peluang yang
luas untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, guru tidak memiliki jiwa
otoriter dan diktator.
Dengan
dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa
belajar jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh
informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa
melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui
proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara kepada oemutakhiran
struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya
dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang
terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring
of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex
network of increasing conceptual consistency…”. pemberian makna terhadap
objek dan pengalaman oleh dindividu tersebut tidak dilakukan seccara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan
sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar
kelas.
2.1.3.1 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Menurut
cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk
membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya
siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas
dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori
konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih
pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan
(Muchith, 2008: 71).
Belajar
bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses
untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan
sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang
bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan materi
yang bersifat kontekstual.
Teori
konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus
bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus
diwujudkan. C. Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar
sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam
situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata
hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia.
konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan
diri (adaptasi) secara tepat (Muchith, 2008: 72).
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989) mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
- peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna
- pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
- mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Peran
guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah lebih
sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya
sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapandan tindakannya
selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh, segala ucapan dan
tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran
seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang
pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan
(Muchith, 2008:72-73).
Sebagai
fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran
sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya (2008: 23-24)
berpendapat bahwa ada beberapa yang harus dipahami, khususnya hal-hal
yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber
pembelajaran yaitu:
1. Guru
perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi
masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut
diperlukan, belum tentu semua media cocok digunakan untuk mengajarkan
semua semua bahan pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik
tersendiri
2. Guru
perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan
perancangan media yang dianggap cocok akan memudahkan proses
pembelajaran, sehingga akan tercapai secara optimal.
3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar.
4. Guru
dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi
dengan siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan
siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar
mereka.
Posisi
siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau teori konstruktivisme
adalah siswa harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi utamanya guru
sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal
siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Peran
guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam
hal ini, guru atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan
memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu melaksanakan proses
pembelajaran. Guru bertugas tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan seluruh potensi dan
sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mampu
membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam
memahami pengetahuan atau teori;
2. Mampu
membangun atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu
berprilaku atau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
realitas masyarakat;
3. mengkondisikan
atau mewujudkan sistem pembelajaran yang mendukung kemudahan belajar
bagi siswa sehingga mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh
kompetensi.
Sementara
itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam
proses pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberikan makna tentang hal-hal yang sedang
dipelajari. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa siswa sebagai
pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.
Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun ide atau
gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan
manusia dewasa yang sudah memiliki modal awal pengetahuan.
2.1.3.2 Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot
mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek
tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi
adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada
dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam
skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi
tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi,
dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan
mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan
suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses
asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).
Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru.
Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang
(disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan
pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya
sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang
individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada
anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2)
siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih
keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing
siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat
dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi
optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif
antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap
individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual
dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui
proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan
antar individual.
Dua
prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1),
mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang
dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar
menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development.
Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan
penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara
aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif
manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat
siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas
itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal
development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan
tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih mampu.
Pengetahuan
dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan
makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya
memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan
pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya
kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama
untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan
kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk
mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa
yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan
kelas.
Pengetahuan
berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:Secara
singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut
ini.
Pembelajaran
konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh
Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
|
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
|
Belajar
adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata
lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta
menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
|
Si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
|
Si
belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus
dipahami oleh si belajar.
|
Mind
berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau
perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan
bersifat unik dan individualistic.
|
Fungsi
mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir
yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan.
|
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang penataan lingkungan belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan, kepastian, ketertiban
|
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
|
Si
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan
lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin.
|
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
|
Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah
subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan
pengaturan diri dalam belajar.
|
Ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si
belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
|
Control belajar dipegang oleh si belajar.
|
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.
|
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
|
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.
|
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan
manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
|
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada
keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil
|
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks
nyata.
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi
merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas
yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa
yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad
aketerampilan proses dalam kelompok.
|
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran,
dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada
evaluasi individual.
|
2.1.3.3 Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan
teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka
pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis
di kelas sebagai berikut:
Pertama,
identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal
terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya
dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini
dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga
orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan
mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran
untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa
dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak
mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan
hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui
diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan
tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat
santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri
untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab
dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik
kognitif.
Keempat,
refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan
dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini
diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk
memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima,
resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat
diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk
meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung
ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt
melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong
untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka
meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan
penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin
gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini
dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau
guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c)
membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan
sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari
gagasan yang lama.
Keenam,
aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan
konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan
masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara
empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi
mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh,
review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang
telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada
awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila
miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini
penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak
selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan
bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa
bersangkutan.
2.1.3.4 Prinsip-prinsip dalam pengajaran kontruktivisme
Di
dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti
bahwa semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk
dirinya sendir, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap
oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang
sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa sebagai guru
kita tidak akan dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar
(Muijs dan Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi.
Belajar
selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif
mengkonstrukikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya.
Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar
secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk
mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan
jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk
mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
Anak-anak
belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif
(konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman,
refleksi dan metakognisi (Beyer, 1985)
Bagi
konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif
berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya
berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide
besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
Konstruksi
pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga
dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya,
guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah
mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja
dan diskusi kelompok
Elemen
lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki
pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar,
sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang
dapat terjadi
Di
samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak
mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya
dengan apa yang telah kita ketahui.
Belajar
secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan
secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi
yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik
lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat
melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
Mengajar
adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman
realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan
pemahaman yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang
sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von
Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa
lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook.
Sementara
itu, Muchith (2008:76) membuat skema perbandingan antara pembelajaran
tradisional dan pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
- penyajian kurikukum bersifat induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan)
- Penyajian kurikulum menggunakan pendekatan deduktif (disajikan melalui keseluruhan menuju bagian-bagian)
- Pembelajaran berjalan secara rutinitas, formalitas dan baku. lebih didasarkan pada kurikulum yang bersifat formalistik
- Pemebalajaran didesain dalam suasana yang memberikan kebebasan siswa untuk mengekspresikan idea tau gagasannya
- Kegiatan kurikuler lebih banyak berorientasi pada buku pegangan/teks yang dimiliki sekolah/guru
- Kegiatan kurikuler lebih banyak dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan kurikuler atau pembelajaran cenderung menggunakan model kooperatif (kerjasama
- Peserta yang belajar lebih dipandang sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Asumsi ini akhirnya melahirkan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan materi kepada siswa. Aspek pemahaman mudah dinafikkan oleh guru
- Peserta didik dipahami sebaagi individu yang memiliki potensi untuk mengembangkan materi pelajaran
- Penilaian atau tes belajar dipandang sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan dari pembelajaran dan sering kali dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
- Penilaian atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test fortofolio
- Pembelajaran hanya memiliki target menghabiskan materi pelajaran, kurang memperhatikan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan
- Pembelajaran lebih didasarkan atas proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan bekerja di dalam kelompok (kolektif).
Selain
itu, Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa. Kedua, Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya
dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik menatakan bahwa seseorang
akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada
apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam
kaitannya dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan
sejumlah aspek dalam pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
1. siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki;
2. pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswanya mengerti
3. Strategi siswa lebih bernilai
4. siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
Oleh
karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi
yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.
Kemampuam awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut untuk memahami jalan
pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemampuannya.
2.1.3.5 Aplikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran IPS
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Penerapan siswa didorong untuk
mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
Donald R. (2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism
is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner
in building understanding and making sense of information (Woolfolk,
2003),; learners construction of knowledge as they attempt to make sense
of their environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning
that occurs when learners actively engage in a situation that involves
collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing
complex issues, or solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar
dalam membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi
(Woolfolk, 2003),; para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat
mereka berusaha untuk memberikan makna terhadap lingkungan mereka
(McCown, driscoll & Roop, 1995);dan pembelajaran yang terjadi ketika
para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang secara
kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena,
mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon
& Colley, 2001).
Dengan
demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching
and learning that intends to maximize student understanding”.
Maksudnya, kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan
pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Tujuan
dari kontruktivisme ini, sebagaimana dikatakatan oleh Donald berikut:
“Purpose of constructivist teaching and learning is enable to students
to acquire information in ways that make that information most readily
understood and usable”. Maksudnya tujuan pengajaran dan pembelajaran
konstruktivis adalah memampukan siswa untuk memperoleh informasi dengan
cara-cara yang membauat informasi tersebut sangat mudah dipahami dan
dapat digunakan.
Untuk
menciptakan aktivitas belajar semakin dipahami dan berguna, para
penganut konstruktivis telah mengumpulkan sejumlah ide dan membawa
mereka bersama untuk membentuk suatu mosaik. Donald, (2006:256)
mengungkapkan ide-ide tersebut diantaranya meliputi:
a) Active
learning (when students are directly involved in finding something out
for themselves) is preferable to passive learning (when students are
recipients of information presented by a teacher).
b) Learners
should engage in “authentic and situated” activities, that is, the
tasks they face should be concrete rather than abstract, real versus
symbolic.
c) Learning
activities should be interesting and challenging, d) Learners should
relate new information to that which they already have through bridging,
d) Learners should reflect or think about what is being learned (reflection).
e) Learning takes place best in community learners that is, group or social situation,
f) Rather than present information to learners, teachers facilitate its acquisition,
g) Teachers must provide learners with assistance or scaffolding that may be needed for them to progress.
Maksudnya
adalah a) pembelajaran aktif (ketika siswa secara langsung terlibat
dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri) adalah cocok untuk
pembelajaran yang pasif (ketika siswa adalah penerima informasi yang
dipresentasikan oleh guru); b) pembelajar seharusnya terlibat dalam
aktivitas yang diciptakan dan nyata, yaitu tugas-tugas yang mereka
hadapi seharusnya konkret jika tida abstrak, nyata bukan simbolik; c)
aktivitas belajar seharusnya menarik dan menantang; d) pembelajar
seharusnya mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah miliki
melalui bridging. e) pembelajar seharusnya merefleksikan atau memikirkan
apa yang dipelajari; f) pembelajaran terjadi paling baik dalam
komunitas pembelajar (leaners community) yaitu kelompok atau situasi
social; g) jika bukan memperentasikan informasi kepada pembelajar, guru
memfasilitasi penyatuannya; h) guru harus memberikan pembelajar bantuan
atau scaffolding yang mungkin dibutuhkan oleh mereka untuk maju.
Dalam
kaitannya dengan den IPS, menurut Mukminan, et.al (2002:1), “IPS
diartikan sebagai penelaahan masyarakat sesuai tugasnya untuk menelaah
masyarakat sesuai dengan segala permasalahannya yang sangat kompleks.
Dalam penelaahan harus dilandasi oleh teori-teori sosial yang dapat
memperhitungkan proyeksi kehidupan lebih lanjut.”
Istilah lain dari IPS adalah social studies. Menurut menurut NCSS bahwa social studies adalah:
…the
integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides
coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as
anthropology, archeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as
well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences.
Pengkajian
masalah-masalah sosial merupakan pengkajian realitas yang terjadi di
masyarakat secara integrasi dipandang dari berbagai sudut pandang
ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya, pendekatan atau strategi pembelajaran
yang tepat adalah pembelajaran yang kontekstual yang mana di dalamnya
siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk mengemukakan pendapat dan
pemikirannya berdasarkan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
kaitanannya dengan itu bahwa teori belajar kontruktivis merupakan teori
yang tepat untuk pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS, guru
bukanlah seorang yang paling tahu segalanya semnetara siswa dianggap
bodoh akan tetapi guru hanyalah sebagai fasilitator, motivator dan
instruktur. Guru memiliki peran untuk mebangkitkan semangan belajar
siswa dari pengalaman-pengalaman nyata yang dihadapi dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPS seperti yang
dikemukakan oleh Donald dapat meciptakan suasana active learning
(pembalajaran aktif), authentic and situated activities (aktivitas nyata
dan sesuai dengan situasi), interesting and challenging (menarik dan
menantang), learning community (belajar bersama/kelompok), facilitating
(memfasilitasi) dan scafolding (memberikan bantuan).
Berkaitan
dengan ini, Kosasih Djahiri (dalam Mukminan dkk, 2002: 146) berpendapat
bahwa dalam pembelajaran IPS perlu memperhatikan prinsip-prinsip
berikut:
- Belajar adalah hasil dari lingkungan sosial yang bersangkutan melalui pengawasan dan penyesuaian. Tuntutan masyarakat dan budaya melahirkan tuntutan untuk belajar secara terus menerus;
- proses bel;ajar dalam masyarakat diperankan oleh berbagai lemabaga (keluarga, masyarakat dan sekolah);
- mempelajari IPS diarahkan kepada (a) kebutuhan praktis, (b) kebutuhan yang multidimensi, dan (c) penguasaan hal-hal yang prinsipil dari pada pelajaran tersebut, permasalahan, pendekatan, metode penelaahannya agar dapat ditetapkan dalam mengahadapi hal yang sama.
Pendapat
Kosasih di atas mengenai prinsip-prinsip pembelajaran IPS memiliki
keterkaitan dengan teori belajar konstruktivis dimana belajar dilakukan
berdasarkan realitas sosial yang ada di masyarakat.
Pandangan
konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna
oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai
usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes
asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang
menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru
konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri
manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas
konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal. Oleh karena itu,
karakteristik yang perlu dilakukan adalah:
- Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas
- Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan
- Guru bersama-sama dengan siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai innterpretasi
- guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang komoleks, sukar dipahami, tidak teratur.
2.1.4 Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik
Menurut
Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Peran guru dalam teori
ini adalah sebagai fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi,kesadaran mengenai makna kehidupan siswa. Guru mamfasilitasi
pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh
tujuan pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik- baiknya.
Siswa berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa
untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli
humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1.Proses pemerolehan informasi baru, 2. Personalia informasi ini pada
individu. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik
antara lain adalah:
1) Teori Belajar Menurut Arthur Combs (1912-1999)
Bersama
dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar
yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi
individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau
sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan
merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya.
Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan
baginya.
Untuk
itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru
harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat
bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau
belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu.
Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh
arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya
dengan kehidupannya.
Combs
memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua
lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran
kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2)
adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi
diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal
yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu
terlupakan.
2) Teori Belajar Menurut Abraham H. Maslow (1908-1970)
Maslow
mengatakan, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi
oleh setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan
dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan
yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah. : Kebutuhan jasmaniah,
Kebutuhan keamanan, Kebutuhan kasih sayang, Kebutuhan harga diri,
Kebutuhan aktualisasi diri.
Hierarki
kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang
kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi. Lebih jauh Maslow
mengatakan, hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi
penting bagi individu peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus
memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam
kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya,
ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan pekerjaan
rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat
berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang
datang ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau
membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi
yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan
mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan.
3) Teori Belajar Menurut Carl Ransom Rogers (1902-1987)
Carl
Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya
sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis)
dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl
Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada diri seseorang
tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan
ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dirinya. Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan
berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan
diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement).
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
§ Kognitif (kebermaknaan)
§ experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru
menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential
Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa.
Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa
secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya
efek yang membekas pada siswa.
Menurut
Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi
manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.Ø Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.ØPengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
v Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
v Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
4) Charles Bouille (sekitar 1475-1553)
Charles
Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan
Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada
manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian
teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya yang ekstrim, Bouille
mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk
kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam
dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar
Italia pada abad pertengahan.
2.2 Tiga Teori Behavioristik
Ada
tiga jenis teori menurut teori behaviorisme yang perlu di pelajari
secara mendalam sebagai seorang guru, yaitu teori Respondent
Conditioning, Operant Cnditioning, dan Observational Learning atau
Sosial-Cognitive Learning.
2.2.1 Teori Responden Learning
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law
of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya
berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
b. Law
of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
2.2.2 Operant Conditioning
Dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law
of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law
of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber
(Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
conditioning.
2.2.3 Observational Learning atau Social-Cognitive Learning
Teori
belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah
sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks
otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif
individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa
yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya
masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar
behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan
dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity
Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode
meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori
pengurangan dorongan.
2.3 Teori Perkembangan Kognitif, Teori Kognisi Sosial, Dan Teori Pemrosesan Informasi
2.3.1 Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan
kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif
anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin
bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi
terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial
dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu
memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi
lebih logis (Nur, 1998).
Teori
perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang
perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif
membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui
pengalaman-pengalaman dan iteraksi-interaksi mereka
Menurut
teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang
baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat
perkembangan kognitif.
Empat tingkat perkembangan kognitif itu adalah.
1. Sensori motor (usia 0 - 2 tahun)
2. Pra operasional (usia 2 – 7 tahun)
3. Operasional kongkrit (usia 7 – 11 tahun)
4. Operasi formal (usia 11 tahun hingga dewasa)
Berdasarkan
tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, untuk siswa SLTP dengan
rentang usia 11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal। Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan remaja। Dimana remaja mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi kongkrit kepenerapan operasi formal dalam bernalar।
Remaja mulai menyadar keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka, di
mana mereka mulai bergelut dengan konsep-konsep yang ada di luar
pengalaman mereka sendiri.
Piaget
menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada keakraban
dengan daerah subyek tertentu. Apabla siswa akrab dengan suatu obyek
tertentu, lebih besar kemungkinannya menggunakan menggunakan operasi
formal (Nur, 2001).
Menurut
Piaget (dalam Slavin, 1994:145), perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif
berinteraksi dengan lingkungannya। Berikut ini adalah implikasi penting dalam pembelajaran fisika dari teori Piaget.
1. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya।
Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang
digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. (Bandingkan dengan
teori belajar perilaku yang hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya,
kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang dapat diamati). Pengamatan
belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif
siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode yang
digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat
dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dangan
yang dimaksud.
2. Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran।
Didalam kelas Piaget, penyajikan pengetahuan jadi (ready-made) tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri
pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab
itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak
melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Menerapkan teori
Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak menggunakan
penyelidikan.
3. Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan per- kembangan।Teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan
yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur
kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang
utuh.
Implikasinya
dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi
yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang
cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir
formal.
2.3.2 Teori Kognisi Sosial
Teori
kognitif sosial menyediakan suatu konse yang membentuk kerangka kerja
yang digunakan untuk mengevaluasi efek determinan dan mekanisme.
Perilaku seseorang sering di jelaskan dalam bentuk sebab akibnat yang di
bentuk dan di tempa oleh pengartuh lingkungan dan disposisi internal.
Menurut Bandura kognitif sosial menjelaskan fungsi-fungsi psikologis
yang di istilahkan sebagai reciprosal causacion atau kausalitas timbal
balik jadi semua interaksi yang kita lakukan, semua aktivitas biologi,
komunikasi, sosial, efektif, kognitif, pola prilaku dan apa-apa yang
terjadi di lingkungan semua dioprasikan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang bersifat timbal balik.
Teori
sosial kognitif diciptakan dari perspektif Bandura dimana menurutnya,
manusia iti adalah mahluk yang bersifat mengatur diri, proaktif, membuat
pencitraan dan peraturan sendiri dengan di pengaruhi lingkungan dan
kekuatan dari dalam diri. Dan oleh bkarenanya, agensi personal da carta
padang kita itu di pengaruhi oleh keadaan sosiostruktural. Dalam lingkup
soso struktural kita mempunyai peran ganda yaitu sebagai produsen dan
hasil dari teori cognitive sosial memegang peranan penting dalam proses
sosialisasi pribadi. Proses ini menjadi alat bagi kita dalam menciptakan
pengertian terhadap lingkungan sekitar kita yang dapat mempengaruhi
segala aspek dalam kehidupan kita dimana paktor kognitiv akan
mengarahkan kita lingkungan mana yang akan kita amati,apa yang kita daat
dari lingkungan itu da apa efek yang akan kita alami akan bersifat
permanen atau tidak,dampak emosional apa yang akan kita dapat dari
lingungan.
2.3.3 Teori Pemrosesan Informasi
Teori
pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang
menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan
dari otak (Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana
seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar
tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak
melalui beberapa indera.
Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang
masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
Keberadaan
register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan.
Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila
informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk
membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam
kesadaran, (Slavin, 2000: 176).
Interpretasi
seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi. Persepsi dari
stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi
dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi,
dan banyak faktor lain.
Informasi
yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke
komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. Memori
jangka pendek adalah sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas
hanya dalam beberapa detik. Satu cara untuk menyimpan informasi dalam
memori jangka pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau
mengungkapkannya berkali-kali. Guru mengalokasikan waktu untuk
pengulangan selama mengajar.
Memori
jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan
informasi untuk periode panjang. Tulving (1993) dalam (Slavin, 2000:
181) membagi memori jangka panjang menjadi tiga bagian, yaitu memori
episodik, yaitu bagian memori jangka panjang yang menyimpan gambaran
dari pengalaman-pangalaman pribadi kita, memori semantik, yaitu suatu
bagian dari memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan
umum, dan memori prosedural adalah memori yang menyimpan informasi
tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Maka
dapat di tarik kesimpulan dari teori belajar kognitif yaitu Teori
belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajarnya. Teori ini juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu
situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen kecil
dan mempelajarinya secara terpisah akan menghilangkan makna belajar.
Teori ini juga berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi,
dan faktor-faktor lain. (Asri, 2005 : 34).
Belajar
adalah aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Proses belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang
diterima (faktor eksternal) dan menyesuaikan dengan struktur kognitif
yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang (background knowledge)
berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya (faktor internal). Teori
kognitif lebih menekankan pada struktur internal pembelajar dan lebih
memberi perhatian pada bagaimana seseorang menerima, menyimpan, dan
mengingat kembali informasi dari perbendaharaan ingatan. Ada beberapa
kelompok penganut teori kognitif, namun fokus dari penganut teori ini
sama yaitu pada soal bekerjanya pikiran manusia (Mukminan, 1998:53).
2.4 Contoh Konkrit Untuk Konteks Siswa SMA atau SMP
2.4.1 Contoh Belajar Konstruktif
Berikut
ini adalah contoh pembelajaran biologi. Alternatif rancangan proses
pembelajaran ini dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi
daerah dan keadaan siswa di kelas Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah
proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:
· Pada
tahap awal, Guru mengajukan masalah yang akan dibahas pada pertemuan
tersebut, semisal tentang “sistem reproduksi” dengan menuliskan masalah
pada papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga.
· Guru
bertanya kepada para siswa, apakah objek yang dibahas pada sistem
reproduksi? Jawaban yang diinginkan adalah bagaimanakah sistem
reproduksi berlangsung, baik itu sistem reproduksi vegetatif maupun
sistem reproduksi generatif. Guru lalu menggambar di papan tulis skema
sistem reproduksi reproduksi
· Selanjutnya
guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan
benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan beragam cara
reproduksi pada jenis-jenis tertentu mahluk hidup
· Guru
bertanya kepada siswa, ada berapakah penggolongan sistem reproduksi?
Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk
menjawab soal tersebut.
· Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswayaitu berupa sistem reproduksi vegetatif dan sistem reproduksi generatif
· Guru
memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara
mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara
reproduksi tersebut yang benar pada sistem reproduksi manusia
· Selanjutnya
Guru memberi soal, para siswa masih boleh menggunakan buku panduan
untuk mencari jawabannya. Bagi siswa yang masih menggunakan
· Pada tahap terakhir Guru memberi soal tambahan seperti. Para siswa dianjurkan agar tidak menggunakan buku panduan
2.4.1 Contoh Konkrit Belajar Humanisme
Menurut
pendapat saya, pendidikan yang humanistik adalah pendidikan yang mampu
menyiapkan suasana setara. Suasana setara yang dimaksudkan di sini
adalah suasana ketika seseorang (murid, siswa, bangsa lain) merasa
nyaman karena dihargai (oleh guru, atasan, senior, tuan rumah). Tidak
ada indikasi pembedaan warna kulit, tingkatan ekonomi, status sosial,
dalam sebuah setting pendidikan. Lebih lanjut, pendidikan yang
humanistik menekankan pendekatan dari hati ke hati.
CONTOH:
kita bmengatakan kepada murid,”Belanda adalah negara di Eropa yang
paling akhir meninggalkan sistim "tangan besi" dalam mendidik murid.
kita mulai berubah ketika muncul kesadaran bahwa anak didik perlu
diperlakukan dengan kasih sayang. Pendekatan psikologis ternyata
memiliki peranan vital dalam perjalanan dunia pendidikan.
Contoh lain belajar humanisme:
· guru
akan menyampaikan materi mengenai sel, maka guru tesebut akan
menanyakan apa itu sel? Apa saja yang termasuk ke dalam sel dan
sebagainya.
· Dari
pertanyaan tersebut guru memberikan kebebasan kepada muridnya untuk
mengemukakan pendapatnya dan guru mendorong siswa untuk berpikir kritis.
· Siswa
diberi kebebasan untuk melakukan eksperimen yang ingin ia pelajari.
Dengan demikian siswa didorong untuk memilih pilihannya sendiri.
Melakukan apa yang diinginkan dan menanggng resiko dari perilaku yang
ditunjukkan.
· Guru
mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan
atau proses belajarnya dengan tidak menilai secara normative apa yang
siswa lakukan.
· Setelah itu guru dapat berdiskusi atau berdialog dengan siswa tersebut.
Sistem pembelajaran yang humanistic
Ibarat
sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu
memiliki arah dan tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai
lembaga pendidikan dengan latar belakang yang beragam jika dilihat dari
namanya. Ada yang terkesan nasionalis karena memakai label negeri, ada
pula yang terkesan religius karena memasang nama agama di belakangnya,
seperti SMAK (Sekolah Menengah Atas Katolik), UII (Universitas Islam
Indonesia), dan sebagainya.
dari berbagai sumber
dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar